profile-image
0
Cerita
0
Joy
 

Fan board

⏪Randria⏪
Hai Kak salam kenal jika berkenan mampir ke ceritaku ya, semua free dengan judul: 1. Ambil Saja Suamiku (tamat) 2. Terjebak Kisah Masa Lalu Yang Terpendam (masih on going) Atau klik profil saya ya, terimakasih 🙏🏻
1
asooka
makasih atas respon nya kak 😇
4
Author Mi
Salam kenal, Kak. Bantu support cerita aku juga ya, yang berjudul *SETELAH SUAMIKU MENIKAH LAGI* Terima kasih.
2
alistebalsinchan
Permisi, kak.. Numpang Promo ceritaku ya: Sang Tahanan (Psikologis-Dark Romance), Sekretaris Bos (Romantis Komedi), Anak Baik (Psikologis-Dark Romance) Semua cerita bisa dibaca versi Chat/Story. Aku tunggu kehadirannya ya. Terima kasih...
1
Green.mom
Salam Kenal kak, baca novel ku ya kak yang judulnya "CINTA TAK MUNGKIN SALAH PILIH", "MY MAID", dan yang terbaru ada "Lisa and Four Musketeers" aku tunggu kak. 🥰🥰
2
Sity Mariah
Hai kak, salam kenal. Jika berkenan, mampir ke ceritaku ya dan jangan lupa gudangin 😊🙏 ISTRIKU TAK CANTIK LAGI (1) ********* "Bun, pake baju yang bener dikit, bisa kali!" ucapku pada Charmila, istriku yang aku panggil Bunbun. Eits, tapi bukan Bunda yak. Bukan tanpa sebab aku memanggilnya Bunbun. Melainkan karena bentuk tubuhnya yang seperti buntelan. Sakit mataku melihatnya yang setiap hari hanya terus memakai daster. Sepertinya, daster jadi baju kebanggaannya setelah memiliki anak bayi. Serta rambutnya yang selalu dikuncir. Tidak ada gaya lain.  "Emang ini nggak bener gimana, Mas?" sungutnya tak suka. "Ya, pake baju 'tuh kali-kali yang lain, yang enak dipandang. Jangan daster terus, Bun!" balasku. Bunbun tak menyahut. Hanya cebikan dari mulutnya yang terdengar. Dia lalu melengos dari dapur ini. Sambil mencomot satu bakwan goreng di atas meja yang ia sediakan sebagai sarapan untukku. Kini, bakwan itu hanya tersisa 2 biji lagi. "Bun!" teriakku menghentikan langkahnya. "Apa sih, Mas?" tanyanya menyentak. "Kalo mas sedang bicara itu, dengerin bisa ga? Jangan pergi pergi aja!" hardikku pada Bunbun yang sudah sampai di ambang pintu. Lantas Bunbun berbalik. Dia berjalan ke arah meja kembali. Dengan mulut yang penuh bakwan belum selesai dia kunyah. "Apa sih, Mas? Perkara baju begini aja, Mas ributin? Harus berapa kali aku bilang? Daster biar lusuh begini, biar longgar begini, ini tuh bikin nyaman, Mas! Nyaman! Daripada aku pake baju-baju kayak waktu masih gadis, ribet tau, Mas. Aku ini harus nyusui Daffa, Mas! Belum lagi ngurusin kerjaan rumah tiap hari. Kamu enak ya, Mas. Kerja di ruangan ber-AC dari pagi sampai sore. Pulang ke rumah, main sama Daffa cuma sebentar. Abis itu main hape sama ngerokok di luar. Udah gitu, mau makan kamu tinggal makan. Tanpa tau aku yang repot ngurusin Daffa!" cerocosnya panjang lebar. Setelah mulutnya selesai menguyah. "Itu kan—" "Itu 'kan apa? Itu tugasku sebagai istri? Itu kodratku sebagai perempuan? Iya? Tanpa Mas bilang pun, aku udah tau, itu semua tugasku. Dan aku terima kok, aku jalani semuanya dengan senang hati. Karena setelah menikah, tugasku ya memang berbakti sama Mas, sebagai suami. Kalau Mas mau aku selalu cantik, selalu rapi saat di rumah, silahkan Mas carikan aku pembantu dan babby sitter. Biar di rumah, kerjaku cuma ongkang-ongkang kaki!" Bunbun kembali nyerocos. Tidak memberiku kesempatan bicara. "Kalo Mas ga mau ngeluarin uang buat sewa babby sitter dan bayar pembantu, ga papa. Aku masih sanggup kok, urus rumah dan Daffa sendiri!" pungkasnya. Lalu kembali mengambil sisa bakwan di atas piring. Setelahnya, Bunbun melangkahkan kakinya lebar-lebar, hingga benar-benar keluar dari dapur ini. Aku hanya bisa menghembuskan napas dan menggeleng melihat kelakuannya. Begitu saja setiap harinya. Setiap aku ingatkan, jika tidak melengos, pasti merembet ke mana-mana. Sewa babby sitter lah. Bayar pembantu lah. Bisa-bisa angsuran rumah ini nunggak. Kalau semuanya disewa. Padahal, aku hanya ingin bunbun tetap cantik dan berdandan. Anak baru satu, tapi penampilannya seperti tidak terurus. Jangankan dandan, dari pagi hingga pagi lagi, ia hanya memakai daster lusuh dan longgar seperti itu. Setiap aku peringatkan, dia selalu berkilah, kalau daster itu pakaian ternyamannya seperti barusan. Aku tidak mengerti. Saat masih gadis dulu, istriku itu cantik dengan tubuh langsing terawat. Aku dibuat tergila-gila sampai cepat-cepat menikahinya. Karena tak rela jika ia dimiliki orang lain. Sehingga selang satu tahun lulus kuliah. Aku segera meminangnya untuk dijadikan istri. Sebab, aku sudah bekerja di perusahaan bonafit. Sehingga aku yakin, bisa menafkahinya dengan baik. Tapi setelah menikah, bahkan setelah melahirkan. Aku dibuat tak berselera. Tubuhnya seketika menggelembung. Dengan perut yang berlemak-lemak. Tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang tidak melebar. Juga rambut yang dikuncir atau dicepol asal. Sedangkan dulu, dia sering gonta-ganti gaya rambut. Pakaiannya pun selalu stylish dan modern. Rapi dan wangi. Sekarang jauh berbeda. Bunbun terlihat dekil. Tak membuat selera saat memandangnya. Sekarang jangankan berdandan, pakaian saja Bunbun selalu memakai daster dan daster lagi. Aku lantas menghabiskan sisa bakwan di atas piring. Lalu menyeruput kopi susu yang sudah hangat. Hari ini Sabtu. Aku libur bekerja. Makanya Bunbun hanya menyiapkan bakwan goreng sebagai sarapan. Selesai menikmati sarapan yang hanya gorengan. Aku pun segera keluar dari rumah. Lalu memutuskan untuk pergi dari rumah. Memilih ke warung kopi Diana, janda cantik yang baru berpisah dari suaminya setahun lalu. Hingga Diana memilih berjualan di warung yang letaknya berbatasan antara perkampungan dan perumahan yang kutempati saat ini. Hanya terhalang benteng dan ditutup portal besi setinggi pinggang orang dewasa. Di warung kopi Diana. Aku bisa bertemu dengan teman-temanku satu kampung. Sebelum menikah dengan Bunbun. Aku tinggal bersama Emak di perkampungan. Kemudian setelah menikah dengan Bunbun. Sekitar tiga bulan saja, aku dan Bunbun menumpang di rumah Emak. Karena setelah menikah, karirku melesat. Hingga akhirnya, aku memutuskan mengangsur satu unit rumah di komplek perumahan. Kini usia pernikahanku dan Bunbun sudah hampir dua tahun. Dengan Daffa yang baru berusia tiga bulan di tengah-tengah kami. ***** "Weyy, bro!" teriak Nico—alias Eman—teman satu kampung. Saat aku baru saja melewati portal. Nico sudah melihatku. Hingga dia berteriak dan membuat teman-teman yang lain menoleh serempak padaku. Aku meneruskan langkah. Tanpa berniat tersenyum pada mereka. Hingga menghempaskan bobot di kursi kayu panjang. Di tengah-tengah Zaki dan Ivan. Sedangkan Nico, ada di hadapanku. Tiga lawan satu. Terhalang meja yang berisi keranjang roti dan gelas-gelas kopi milik mereka. "Ngopi, Bro?" tawar Zaki. Aku menggeleng tidak mood. "Susu?" tawar Ivan kemudian dan kubalas dengan gelengan kepala juga. "Aa Ibnu mau minum apa?" Mendengar suara penjaga warung yang begitu mendayu. Seketika aku terkesiap. Semangatku naik berlipat-lipat. Apalagi saat melihat ke arah dalam warung. Si penjaga memakai kaos u can see. Rambut panjangnya dikepang dan tersampir ke sisi kanan. Membuat leher jenjangnya terekspos. "Teh manis anget, Di," balasku tak kalah lembut. Nampak Diana mengangguk diikuti senyuman yang begitu manis. Kemudian berlalu untuk menyiapkan pesananku. Pluk! Cangkang kuaci mengenai wajahku. "Giliran Diana yang nanya, melek deh tuh mata! Tadi ditawarin, malah ga ada suaranya!" gerutu Ivan yang masih sibuk menguliti cangkang kuaci di mulutnya. "Beuhhh, dia kan emang Pa haji bolot kw!" Zaki meledek sambil terbahak. Aku hanya memutar bola mata malas. Tak berniat menanggapi ledekan Zaki ataupun Ivan. Aku ke sini, ingin mencari pemandangan yang memanjakan mata. Akibat suntuk dengan pemandangan di rumah. Tak lama, Diana pun keluar dari warungnya. Hingga aku bisa melihat penampilannya secara keseluruhan. Kaos u can see yang menampakkan lekuk tubuhnya. Dipadukan dengan rok jeans sebatas lutut. Diana lalu menyajikan gelas tinggi berisi teh manis pesananku. Melihat Diana, akhirnya mataku sedikit mendapat penyegaran. Setelah menyajikan pesananku, Diana segera kembali ke dalam warungnya. Aishh. Suami macam apalah mantan suami Diana itu. Menceraikan wanita secantik dan se-seksi dia? Gerutuku bertanya dalam hati. Diana sudah berada dalam warungnya. Dia membereskan barang-barang jualannya di atas meja. Sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Begitu juga denganku yang tak lepas dari memperhatikannya. Aku mengerjap. Ketika telapak tangan tiba-tiba mengusap wajahku. Ternyata, itu tangan Nico yang duduk di hadapanku. "Apaan sih, lo, Nic?!" sungutku karena sudah mengangguku memperhatikan Diana. "Gue laporin Emak lo, tau rasa lo!" ancamnya padaku. "Ck, laporin aja sana. Ga takut gue," balasku pura-pura berani. Emak memang tidak suka. Jika aku nongkrong di warkop milik Diana seperti ini. Kata Emak, tidak baik. Aku sudah beristri. Sementara Nico dan Ivan, masih bujangan. Lalu Zaki, merupakan seorang duda, jadi tidak masalah jika mereka sering-sering nongkrong di sini. Sedangkan aku, statusku lelaki beristri. Seharusnya aku di rumah bersama istri dan anakku. Begitu Emak sering menasehati. "Bener ya? Gue laporin, biar putus kuping lo, kena jeweran Emak lo!" Kembali Nico menakut-nakutiku. "Silahkan. Gue ga takut. Lagian, Emak sibuk. Ada orderan buat cateringnya. Jadi, Emak ga mungkin nyusulin ke sini. Lapor aja, lapor!" Aku balik menantang Nico. Nico memajukan bibir bawahnya. Seakan meledek. Lalu tangannya bergerak lincah di layar ponselnya. Ketiga temanku ini pun, terkadang ada di pihak Emak. Karena jika aku dimarahi Emak, mereka pun kena dampratnya juga. Salah satu dari mereka, kadang melaporkanku pada Emak jika aku ada di sini. Terkadang, Emak memang datang sendiri dan memergokiku ada di warungnya Diana. Membuat Emak murka, lalu berhasil menggiringku kembali ke rumah. Tapi kali ini, aku yakin Emak tidak akan menyusul. Karena ada orderan catering untuk hajatan di kampung sebelah. Jadi, aku bisa leluasa berlama-lama di warung Diana ini. Asyik bukan? Aku lantas menyeruput teh manis dalam gelas. Hmm, entah kenapa rasanya pas. "Ya elah, minum teh manis gitu aja, sampai merem melek mata lo!" cibir Ivan di sebelahku. "Suka suka gue lah. Minuman, minuman gue. Mau merem melek, mau melotot, terserah gue. Kenapa elo yang repot!" balasku pada Ivan. Kemudian kembali menyeruput minuman di gelasku. Aku memang sengaja memejamkan lalu membuka lagi mataku, saat selesai menyeruput. Agar Diana bisa melihat, bahwa aku sangat menyukai miniman buatannya ini. Lantas aku menyimpan gelas yang minumannya tinggal setengah lagi. Tiba-tiba, Nico menyambar gelas minumanku. Lalu meneguknya hingga menyisakan sedikit lagi teh manis hangat buatan Diana. "Nic! Elo ngapain minum pesenan gue?!" pekikku melihat aksi Nico barusan. "Biar lo cepet pulang! Daripada Emak lo nanti nyusulin!" jawab Nico. "Ga akan, Nic. Emak ga akan dateng. Gue kan udah bilang, Emak lagi sibuk. Lo mah ngeselin!" dumelku pada Nico. Lalu kuambil kembali gelasku. Meminumnya sampai habis hingga penuh dalam mulutku. "Bagus! Bukannya jagain anak, malah ke sini ya. Bagus!" Buuuurrrr! Refleks aku menyemburkan minuman yang masih penuh dalam mulut. Belum sempat kuteguk. Saat tiba-tiba daun telingaku dipelintir dibarengi suara yang sangat kuhafal. "Add-duh, Mak. Sakit Mak!" ringisku saat Emak menjewer telinga ini. Membuatku yang sedang duduk, terpaksa berdiri karena mengikuti jeweran Emak. Dapat kulihat Ivan dan Nico yang cengengesan melihatku dijewer Emak. "PULANG!" tegas Emak sambil menyeretku. Alhasil, aku hanya bisa pasrah mengikuti langkah Emak. Menjauh dari warungnya Diana. "Maaaak! Minumannya belum dibayar!" teriak Nico di warung sana. Ketika aku dan Emak sudah dekat dengan portal. "Bayar dulu, Nic. Ntar Emak ganti!" balas Emak juga berteriak. Emak tidak melepaskan tangannya dari menjewerku. Bahkan hingga melewati portal dengan membungkuk pun. Emak masih tetap menjewerku. Gagal sudah, rencana berlama-lama di warungnya Diana kalau begini. *********
1